Senin, 09 Desember 2013

Sumur di Masa Lalu

Bisakah kita hidup sehari tanpa air? mungkin bisa kalau hanya sehari. Tapi nyamankah dalam sehari tanpa air? hampir semua orang mungkin akan menjawab tidak nyaman. 

Air merupakan kebutuhan  vital manusia. Makan, minum, mandi, dan mencuci rasanya tak mungkin dilakukan kalau tidak ada air. Nasi yang kita makan setiap hari tiga kali atau bahkan lebih dimasak menggunakan air. Mandi tidak bisa lepas dari air, walaupun sekarang bisa saja bukan dengan air tapi tetap kalah nikmatnya dengan diguyur air. Mencuci pakaian tak mungkin dilakukan dengan menggunakan abu, kecuali bagi yang suka ala purba.

Disaat teknologi sudah secanggih sekarang ini, bagi sebagian orang air dirasakan bukanlah sesuatu yang berharga. Bagi yang memiliki sumur dengan motor pompa, cukup dengan tekan saklar air langsung menyembur. Pelanggan PDAM yang rutin membayar tagihan bulanan, setiap hari tidak puasa mandi. Dengan memanfaatkan teknologi saat ini air mudah diperoleh.

Berbeda dengan kehidupan pada dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu di desa saya belum teraliri listrik produksi PLN. Lampu talpek menjadi teman warga melalui gelapnya malam. Tak ada pompa air yang memanjakan warga untuk memperoleh air besih. Untuk mendapatkan air, warga harus menimba dengan menarik tali yang digantungkan timba. Nyanyian katrol yang mengangkat air beradu dengan suara burung dipagi hari. Gelak tawa menyeruak diantara obrolan warga yang menunggu giliran.

Sumur itu menjadi tempat bertemunya warga kampung setiap hari. Sumur yang menyediakan kebutuhan air puluhan keluarga. Sumur itu digali dan dibangun dengan gotong royong seluruh warga. Laki-laki dan perempuan, tuan dan muda berbaur bekerja membangun sumur.

Sumur yang dibangun dengan kebersamaan di atas keterbatasan itu, kini jarang dikunjungi. Hanya satu-dua warga yang masih memanfaatkannya. Tak tahu untuk dua puluh tahun lagi, apakah masih ada orang yang memerlukannya. Mudah-mudahan hasil cucuran keringat itu tidak sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar