Selasa, 24 Desember 2013

TELLASAN CENA CERCER

Pemerintah menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari libur nasional. Kantor pemerintah, swasta dan sekolah meliburkan pegawai, karyawan dan siswanya. Pada tanggal ini umat kristiani merayakan Hari  Raya Natal.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang menyebut Hari Raya Natal atau hari rayanya umat Nasrani, orang-orang tua di desa saya menyebut hari ini sebagai "Tellasanna Cena". Mereka menyebut hari raya keagamaan/lebaran sebagai tellasan. Sama halnya ketika umat Islam merayakan lebaran, mereka menyebutnya Tellasan.

Sebagaimana mereka tidak mengenal istilah Natal, mereka juga kurang familiar dengan sebutan Kristen atau Nasrani. Mereka menyebut umat Kristen dengan sebutan Cena (Cina). Saya tidak tahu mengapa mereka mengasosiasikan Kristen dengan Cina. Mungkin karena yang  menganut agama Kristen di daerah saya adalah orang-orang Cina. Tidak ada orang asli Madura yang memeluk agama Kristen. Karena itulah mereka menyebut Tellasan Kristen sebagai Tellasan Cina.

Selain kerancuan istilah, mereka juga mengaitkan fenomena alam dengan Natal. Seperti dalam judul tulisan ini, "Tellasan Cena Cercer".

 "Cercer" satu kosa kata Madura yang menunjuk pada keadaan seseorang yang selalu buang air kecil (poliurea/inkontinensia). Jika ada seseorang yang kencing, belum kering airnya kecing lagi, maka orang tersebut disebut cercer. Penggunaan kata ini kemudian berkembang dan digunakan untuk menunjukkan pada kondisi alam yang sering  turun hujan.

Pada waktu Natal musim di Indonesia berada pada musim penghujan. Selama seminggu biasanya matahari selalu bersembunyi dibalik awan. Hampir setiap hari atau bahkan terkadang setiap hari selalu turun hujan. Karena kondisi inilah mereka kemudian menyebutkan "Tellasan Cena Cercer".

Senin, 09 Desember 2013

Sumur di Masa Lalu

Bisakah kita hidup sehari tanpa air? mungkin bisa kalau hanya sehari. Tapi nyamankah dalam sehari tanpa air? hampir semua orang mungkin akan menjawab tidak nyaman. 

Air merupakan kebutuhan  vital manusia. Makan, minum, mandi, dan mencuci rasanya tak mungkin dilakukan kalau tidak ada air. Nasi yang kita makan setiap hari tiga kali atau bahkan lebih dimasak menggunakan air. Mandi tidak bisa lepas dari air, walaupun sekarang bisa saja bukan dengan air tapi tetap kalah nikmatnya dengan diguyur air. Mencuci pakaian tak mungkin dilakukan dengan menggunakan abu, kecuali bagi yang suka ala purba.

Disaat teknologi sudah secanggih sekarang ini, bagi sebagian orang air dirasakan bukanlah sesuatu yang berharga. Bagi yang memiliki sumur dengan motor pompa, cukup dengan tekan saklar air langsung menyembur. Pelanggan PDAM yang rutin membayar tagihan bulanan, setiap hari tidak puasa mandi. Dengan memanfaatkan teknologi saat ini air mudah diperoleh.

Berbeda dengan kehidupan pada dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu di desa saya belum teraliri listrik produksi PLN. Lampu talpek menjadi teman warga melalui gelapnya malam. Tak ada pompa air yang memanjakan warga untuk memperoleh air besih. Untuk mendapatkan air, warga harus menimba dengan menarik tali yang digantungkan timba. Nyanyian katrol yang mengangkat air beradu dengan suara burung dipagi hari. Gelak tawa menyeruak diantara obrolan warga yang menunggu giliran.

Sumur itu menjadi tempat bertemunya warga kampung setiap hari. Sumur yang menyediakan kebutuhan air puluhan keluarga. Sumur itu digali dan dibangun dengan gotong royong seluruh warga. Laki-laki dan perempuan, tuan dan muda berbaur bekerja membangun sumur.

Sumur yang dibangun dengan kebersamaan di atas keterbatasan itu, kini jarang dikunjungi. Hanya satu-dua warga yang masih memanfaatkannya. Tak tahu untuk dua puluh tahun lagi, apakah masih ada orang yang memerlukannya. Mudah-mudahan hasil cucuran keringat itu tidak sia-sia.